Tratap... Dumdum... Tratap... Dumdum... Suara itu terdengar
bersamaan dengan iringan barisan yang rapi mengisi pawai acara 17
Agustus-an. Di belakang barisan itu tampak berbaris banyak murid
sekolah, mulai dari SD, SMP dan SMA dengan berbagai macam pakaian. Lucu
dan menggemaskan di barisan SD, semangat dan energik di barisan SMP,
lugas dan dinamis di barisan SMA.
Bayanganku terhenti sejenak. Tak terasa peristiwa itu masih melekat
dalam ingatan meski sudah lebih dari satu dekade berlalu. Aku pernah ada
dalam barisan itu dengan pakaian lengkap TNI Angkatan Laut. Memberi
hormat kepada masyarakat yang menyaksikan dari sisi jalan, beberapa
bahkan memotret. Jepret..
Hingga saat ini yang masih terus menemani hari-hariku adalah suara khas
Marching Band. Tak kunjung hilang dalam ingatan 15 tahun silam. Saat
pasukan Drum Band SMK latihan march melewati depan rumahku.
Keluar dari rumah, aku tak bisa hanya menunggu di trotoar depan. Aku
ingin suara dentuman dan nyanyian itu lebih dekat dan lebih lama di
telingaku. Aku berlari menghampiri barisan itu dan terus berjalan dengan
riang hingga ujung jalan. Entah apa yang menarik saat itu bagiku.
Kembali ke rumah aku baru sadar tepat saat aku melihat ke bawah, suara
Drum Band tadi menghipnotisku. Ternyata tadi aku berlarian tanpa alas
kaki. Yang jelas, aku sangat tertarik dengan permainan mereka yang
harmonis dengan berbedaan alat musik, kompak dalam barisan. Ingin
rasanya menjadi bagian dari pemain musik itu.
Satu Kecamatan saat itu, hanya ada 2 unit Drum Band di kampung
halamanku. Akhirnya pilihan melanjutkan studiku saat itu tidak jatuh
pada salah satu dari sekolah itu. Aku lebih tertarik dengan sekolah yang
jauh dan di sana ada unit Marching Band yang alat musiknya lebih
variatif. Hal utama yang paling membuatku tertarik memang karena aku
sangat menyukai musik. Sekedar penikmat musik hingga pemain. Bapakku,
orang yang paling berjasa dengan doktrin berbagai genre musik. Mulai
dari kaset hingga tontonannya di TV, aku bisa menilai bahwa dia adalah
seorang penikmat musik.
Doktrin itu berhasil. Aku tidak sungkan-sungkan untuk naik ke atas kursi
dan melompat dengan iringan lagu Si Lumba Lumba-nya Bondan Prakoso.
Belum lagi kaset Enno Lerian - Si Nyamuk Nakal yang diputar di tape
recorder jadul. Belum genap usiaku 6 tahun, aku sudah dibelikan keyboard
mini merk Casio tiga oktaf. Proses belajar hingga bisa sedikit
memainkan keyboard pun membawaku untuk menemukan seorang yang spesial
untuk masa depanku.
Dari beberapa alat musik yang aku bisa mainkan, anehnya hanya tiga yang
aku pernah punya. Keyboard Casio 15 tahun lalu, harmonika yang hilang
entah kemana dan gitar murahan yang sudah rusak dan aku hibahkan. Hanya
ada stik snare drum di lemariku. Guna memperlancar side job dari semester dua saat kuliah, pelatih unit drum band.
Mulai dari pemain hingga pelatih, aku banyak belajar tentang kehidupan.
Disiplin, kekompakan, keseimbangan berpikir, konsistensi, tanggungjawab,
kesetiakawanan dan masih banyak lagi. Saat masih bermain di unit
Marching Band dulu, di Pondok Madani (begitu Ahmad Fuadi menulisnya di
novel Negeri 5 Menara), aku bahkan pernah ikut serta di kejuaran tingkat
nasional. Aku bahkan mampu memperkaya pertemanan, mengasah kemampuan
sampai berdiri di barisan paling depan sebagai field commander dan drum major. Itulah puncak karirku selama menjadi pemain Marching Band.
Sampai saat ini, aku menikmati profesi Pelatih Marching Band, walaupun
masih ada rasa rindu untuk bermain di lapangan. Namun menjadi pelatih
bukan perkara mudah. Keberhasilan Unit bisa jadi ada di tangan pelatih.
Paling tidak, profesi ini adalah bukti bahwa aku siap untuk diberi
tanggungjawab. Bukan untuk ditakuti, justru dengan melatih unit aku bisa
lebih leluasa untuk belajar lebih banyak lagi tentang musik, khususnya
marching band.
Ada satu nilai tambah yang aku pelajari dari insan Marcing Band. Aku
pernah bermain di kejuaraan, bahkan menjadi pelatih untuk unit yang akan
ikut serta dalam perlombaan. Sangat banyak pengorbanan individu bahkan
unit untuk mengikutinya. Pengorbanan materi, fisik, pikiran dan
perasaan. Semua itu bukan dalam jumlah satuan yang sedikit. Tidak jarang
satu unit marching band rela melepas dana hingga miliaran demi prestasi
yang mengagumkan, tanpa ada hadiah berupa materi. Hanya ada tropi
sebagai bukti prestasi yang bila diuangkan tidak seberapa. Bayangkan
pengorbanan waktu yang diberikan oleh pemain. Latihan sekali sepekan,
berlanjut dengan intensif menjelang kejuaraan.
Menjadi pemenang dalam sebuah kejuaraan marching band adalah sebuah
tingkat kepuasan paling tinggi bagi pemain, tanpa menghiraukan
pengorbanan materi semasa latihan. Itulah yang membisikkanku bahwa dalam
kehidupan ini, kepuasan dan kebahagiaan tak selalu bisa ditawar dengan
sejumlah materi. Itu bahkan lebih mahal dari apapun, sehingga tak ada
yang mau menjual kebahagiaan tersebut.
Penulis : Redi Kurniawan
bersamaan dengan iringan barisan yang rapi mengisi pawai acara 17
Agustus-an. Di belakang barisan itu tampak berbaris banyak murid
sekolah, mulai dari SD, SMP dan SMA dengan berbagai macam pakaian. Lucu
dan menggemaskan di barisan SD, semangat dan energik di barisan SMP,
lugas dan dinamis di barisan SMA.
Bayanganku terhenti sejenak. Tak terasa peristiwa itu masih melekat
dalam ingatan meski sudah lebih dari satu dekade berlalu. Aku pernah ada
dalam barisan itu dengan pakaian lengkap TNI Angkatan Laut. Memberi
hormat kepada masyarakat yang menyaksikan dari sisi jalan, beberapa
bahkan memotret. Jepret..
Hingga saat ini yang masih terus menemani hari-hariku adalah suara khas
Marching Band. Tak kunjung hilang dalam ingatan 15 tahun silam. Saat
pasukan Drum Band SMK latihan march melewati depan rumahku.
Keluar dari rumah, aku tak bisa hanya menunggu di trotoar depan. Aku
ingin suara dentuman dan nyanyian itu lebih dekat dan lebih lama di
telingaku. Aku berlari menghampiri barisan itu dan terus berjalan dengan
riang hingga ujung jalan. Entah apa yang menarik saat itu bagiku.
Kembali ke rumah aku baru sadar tepat saat aku melihat ke bawah, suara
Drum Band tadi menghipnotisku. Ternyata tadi aku berlarian tanpa alas
kaki. Yang jelas, aku sangat tertarik dengan permainan mereka yang
harmonis dengan berbedaan alat musik, kompak dalam barisan. Ingin
rasanya menjadi bagian dari pemain musik itu.
Satu Kecamatan saat itu, hanya ada 2 unit Drum Band di kampung
halamanku. Akhirnya pilihan melanjutkan studiku saat itu tidak jatuh
pada salah satu dari sekolah itu. Aku lebih tertarik dengan sekolah yang
jauh dan di sana ada unit Marching Band yang alat musiknya lebih
variatif. Hal utama yang paling membuatku tertarik memang karena aku
sangat menyukai musik. Sekedar penikmat musik hingga pemain. Bapakku,
orang yang paling berjasa dengan doktrin berbagai genre musik. Mulai
dari kaset hingga tontonannya di TV, aku bisa menilai bahwa dia adalah
seorang penikmat musik.
Doktrin itu berhasil. Aku tidak sungkan-sungkan untuk naik ke atas kursi
dan melompat dengan iringan lagu Si Lumba Lumba-nya Bondan Prakoso.
Belum lagi kaset Enno Lerian - Si Nyamuk Nakal yang diputar di tape
recorder jadul. Belum genap usiaku 6 tahun, aku sudah dibelikan keyboard
mini merk Casio tiga oktaf. Proses belajar hingga bisa sedikit
memainkan keyboard pun membawaku untuk menemukan seorang yang spesial
untuk masa depanku.
Dari beberapa alat musik yang aku bisa mainkan, anehnya hanya tiga yang
aku pernah punya. Keyboard Casio 15 tahun lalu, harmonika yang hilang
entah kemana dan gitar murahan yang sudah rusak dan aku hibahkan. Hanya
ada stik snare drum di lemariku. Guna memperlancar side job dari semester dua saat kuliah, pelatih unit drum band.
Mulai dari pemain hingga pelatih, aku banyak belajar tentang kehidupan.
Disiplin, kekompakan, keseimbangan berpikir, konsistensi, tanggungjawab,
kesetiakawanan dan masih banyak lagi. Saat masih bermain di unit
Marching Band dulu, di Pondok Madani (begitu Ahmad Fuadi menulisnya di
novel Negeri 5 Menara), aku bahkan pernah ikut serta di kejuaran tingkat
nasional. Aku bahkan mampu memperkaya pertemanan, mengasah kemampuan
sampai berdiri di barisan paling depan sebagai field commander dan drum major. Itulah puncak karirku selama menjadi pemain Marching Band.
Sampai saat ini, aku menikmati profesi Pelatih Marching Band, walaupun
masih ada rasa rindu untuk bermain di lapangan. Namun menjadi pelatih
bukan perkara mudah. Keberhasilan Unit bisa jadi ada di tangan pelatih.
Paling tidak, profesi ini adalah bukti bahwa aku siap untuk diberi
tanggungjawab. Bukan untuk ditakuti, justru dengan melatih unit aku bisa
lebih leluasa untuk belajar lebih banyak lagi tentang musik, khususnya
marching band.
Ada satu nilai tambah yang aku pelajari dari insan Marcing Band. Aku
pernah bermain di kejuaraan, bahkan menjadi pelatih untuk unit yang akan
ikut serta dalam perlombaan. Sangat banyak pengorbanan individu bahkan
unit untuk mengikutinya. Pengorbanan materi, fisik, pikiran dan
perasaan. Semua itu bukan dalam jumlah satuan yang sedikit. Tidak jarang
satu unit marching band rela melepas dana hingga miliaran demi prestasi
yang mengagumkan, tanpa ada hadiah berupa materi. Hanya ada tropi
sebagai bukti prestasi yang bila diuangkan tidak seberapa. Bayangkan
pengorbanan waktu yang diberikan oleh pemain. Latihan sekali sepekan,
berlanjut dengan intensif menjelang kejuaraan.
Menjadi pemenang dalam sebuah kejuaraan marching band adalah sebuah
tingkat kepuasan paling tinggi bagi pemain, tanpa menghiraukan
pengorbanan materi semasa latihan. Itulah yang membisikkanku bahwa dalam
kehidupan ini, kepuasan dan kebahagiaan tak selalu bisa ditawar dengan
sejumlah materi. Itu bahkan lebih mahal dari apapun, sehingga tak ada
yang mau menjual kebahagiaan tersebut.
Penulis : Redi Kurniawan